close

Rabu, 17 Mei 2017

Saat Rhoma Irama kembali berhasrat menjadi calon presiden


Portal Negara - Dunia politik bukanlah hal yang baru bagi si Raja Dangdut Rhoma Irama. Sejak masa mudanya, Rhoma sudah berkiprah di dunia politik. Dari mulai PPP hingga Golkar pernah dimasukinya.

Pada pemilu 2014, Rhoma bahkan digadang-gadang oleh PKB bakal dijadikan capres. Saat itu, hubungan Rhoma dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar lengket laksana perangko.

Saat itu, Rhoma bersama group musik dangdutnya, Soneta, bahkan ikut berkampanye untuk memenangkan PKB. Namun, setelah pemilu legislatif selesai, PKB tak menepati janjinya untuk mencapreskan Rhoma. Judi Poker

Penyebabnya suara yang diperoleh PKB tak cukup buat mencalonkan capresnya sendiri. Alhasil, PKB pun meninggalkan Rhoma dan memilih mendukung pasangan Jokowi-Jusuf Kalla.

Rhoma pun tak terima. Satria bergitar lantas meninggalkan PKB dan beberapa lama kemudian mendirikan partai baru bernama Partai Idaman. Di partai itu Rhoma menjabat sebagai ketua umum.

Hasrat Rhoma untuk mencalonkan diri di Pilpres pun kembali muncul. Rhoma mengaku tak bisa menolak bila partainya menginginkan dirinya maju sebagai capres, apalagi jika ada desakan dari publik.

"Mengenai pencalonan sebagai presiden apakah mencalonkan presiden, saya bilang tidak, tetapi teman-teman saya mungkin. Kalau publik secara nasional menghendaki saya tampil sebagai capres tentunya saya tidak boleh menolak," kata Rhoma Irama di Asrama Pondok Haji, Jakarta Timur, Selasa (16/5) kemarin. Bandar Poker

Saat disinggung terkait pembahasan ambang batas pencalonan pasangan capres dan cawapres, Rhoma pun menolak dengan tegas adanya persyaratan tersebut. Menurutnya bila ada ambang batas pencalonan presiden maka akan mencederai UUD.

"Kalau argumen kami dari Partai Idaman tentu mengimbau kepada jajaran pemerintah agar menaati yang namanya keputusan dari MK nomor 14/2013 yang berbunyi bahwa Pilpres dan pileg dilaksanakan dengan serentak artinya rakyat memilih pileg dalam waktu serentak," katanya.

Rhoma mengatakan jika ada pihak yang berpikiran ambang batas mengusung presiden dengan jumlah kursi di DPR sebanyak 20 persen adalah anomali. Apalagi jumlah kursi tersebut diambil dari DPR yang telah demisioner.

"Di samping anomali tidak rasional dan tidak mengacu kepada parlementer justru sangat tidak jelas dan menutup peluang-peluang kepada warga negara untuk mendapatkan hak konstitusional. Oleh karena itu dari Pansus untuk presidensial zero threshold," kata Rhoma.


0 komentar:

Posting Komentar